Kamis, 11 Juni 2009

Mello x Mett

Mello menatap Matt yang masih sibuk dengan PSP di tangannya. Pemuda berambut pirang itu mendengus kesal. Sampai kapan makhkluk ber-goggle di sampingnya ini akan memusatkan perhatiannya pada benda berwarna hitam itu. Sedangkan Mello harus puas dengan TV layar datar di hadapannya itu. Coklat telah habis. Apa yang mampu mengusir kebosanannya saat ini?? Hanya suara game sound dari PSP Matt yang mengisi keheningan di ruang tamu itu. Sesekali Matt mendecak dan mengumpat kesal jika ia mengalami kekalahan.

Tiba-tiba sebuah ide gila mampir di otak Mello. Ia melirik Matt yang masih tertunduk pada PSP nya. Sebuah ide untuk mengusir kebosanan ini. Mungkin akan sangat menarik.

Tanpa berkata apa-apa, Mello menyambar PSP yang berada di tangan Matt. Dia membuang meletakkan benda elektronik itu di meja di sampingnya.

“Mau apa kau? Aku belum selesai, Mello,” kata Matt menahan kesal sambil berdiri, hendak menuju meja untuk mengambil PSP nya. Namun niatnya urung saat Mello meraih tubuh kecilnya dan menariknya kepelukan Mello yang masih duduk bersandar di sofa.

“A…apa?” gumam Matt dengan wajah sedikit merona saat jarak wajahnya dengan wajah Mello tinggal beberapa senti saja.

Sedangkan yang ditanya malah menyeringai. Entah karena puas atau apa. Mello malah semakin menarik Matt ke arahnya. Matt yang kehilangan keseimbangannya karena tenaga Mello yang jauh lebih kuat darinya, hanya mampu mengikuti gerakan Mello. Pemuda penggemar game itu jatuh menimpa tubuh Mello di sofa.

“Let’s kill some boredom,” ucap Mello pelan.

Tanpa menghiraukan sorot mata aneh dari lelaki di depannya itu, Mello segera menarik kepala Matt mendekati kepalanya. Mello menuju bibir Matt yang tipis itu. Dijilatinya dengan lidah bibir dari lelaki yang kini nampak sangat terkejut itu. Namun sejurus kemudian, Matt ikut hanyut dalam kehangatan yang di tawarkan Mello. Ia memejamkan mata, ingin benar-benar merasakan setiap jilatan lidah Mello di bibirnya.

Saat Matt membuka mulutnya, sedetik kemudian Mello memasukkan lidahnya ke rongga mulut Matt. Di telusurinya bagian dalam mulut Matt dengan penuh gairah. Sedangkan Matt sendiri juga membalas ciuman Mello tak kalah hangatnya. Ia bahkan mampu merasakan manisnya coklat Cad Burry melalui saliva Mello yang di telannya.

“Rasanya, tak enak sekali jika aku berada di bawah,” gumam Mello disela-sela ciumannya.

Matt tak merespon. Pemuda itu malah menurunkan bibirnya dari bibir Mello menuju leher Mello. Dikecupnya leher putih itu hingga meninggalkan bekas kemerahan disana. Saat Matt menjilat kulit belakang telinganya, Mello mendesah pelan.

“Nnn…M…Matt,” desah lelaki itu sambil menyebut nama Matt.

Dan justru erangan Mello itulah yang membuat gairah Matt semakin terbakar. Ia semakin didorong oleh nafsu yang semakin membuncah. Dari telinga, Matt kembali menuju bibir Mello. Kali ini, Matt mencium bibir itu dengan ganas, kasar. Penuh dengan tuntutan. Sedangkan tangan kanan Matt membelai luka bakar di wajah Mello, dan tangan kirinya sibuk membuka resleting atasan Mello.

“Nnnhhh…,” Mello kembali mendesah saat kepala Matt turun dan beralih ke dadanya. Keringat keduanya telah bermunculan di tubuh mereka. Detak jantung mereka kian cepat mengiringi hembusan nafas mereka.

Jika Mello hanya mampu memejamkan mata untuk menikmati sensasi ini sambil mencengkeram rambut Matt, maka Matt kini tengah mengulum sebelah puting susu Mello dengan lembut. Sesekali menggigit bagian dada yang telah mengeras itu. Tangan kanan Matt menyangga tubuhnya agar tidak menimpa Mello dan tangan kirinya kini menyelinap masuk ke dalam celana Mello.

“Eeerrr…..,” Mello kembali mengerang saat merasakan tangan Matt telah mencapai organ vitalnya. Dan erangannya semakin mengeras saat tangan Matt memain-mainkan organ itu. Memijatnya lembut, terkadang juga mengelusnya.

“I can’t hold it, Mello,” desah Matt dengan nafas terengah-engah.

Ia menanggalkan celana yang sedang di pakainya. Kini bagian bawah tubuh Matt terlihat polos tanpa satu benang pun yang menutupinya. Dan tak menunggu Mello untuk menarik nafas, Matt dengan kasar melepas celana Mello dan membuangnya di sofa sebelah mereka.

“I will make you comfort, Mello. Just relax,” ujar Matt pada Mello yang terbaring pasrah sambil memejamkan mata. Mencoba mengatur nafasnya yang masih memburu. Dan mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih juga cepat.

Dan belum sempat Mello membuka mata, ia kembali mendesah saat ia rasakan Matt memasukkan alat vital Mello kedalam mulutnya. Mello kembali mengerang. Apalagi setelah itu Matt memaju mundurkan kepalanya, mengikuti irama helaan nafas mereka. Sedangkan Mello hanya mampu mencengkeram kepala Matt untuk menahan gejolak didadanya.

Matt segera menelan cairan ejakulasi yang keluar dari organ vital Mello yang di ulumnya.

“Payah. Belum apa-apa sudah klimaks kau, Mello,” ucap Matt. “Tapi rasanya enak,” Matt tersenyum nakal.

“Shut up!” ucap Mello dengan nafas kepayahan.

“Kau yang minta, aku hanya memberi, Mello,” Matt tersenyum garang. Mello menelan ludah.

“No….”

Belum sempat Mello menyelesaikan ucapannya, ia malah meringis kesakitan saat merasakan satu jari Matt masuk ke ‘lubang’ nya.

“No way. Cu…cukup, Matt,” erang Mello sambil masih meringis menahan sakit.

“Never,” Matt malah memasukkan satu lagi jarinya. Membuat erangan Mello semakin keras.

“I’ll kill you, Matt,” ucap Mello geram.

“Let’s see,” Matt segera memasukkan jari ketiganya ke ‘lubang’ Mello.

“Aw…shit! Shit!” Mello hanya bisa mengumpat.

Dan Mello kembali bernafas legah saat Matt mengeluarkan ketiga jarinya. Namun rasa legah itu kembali menjadi kejutan bagi Mello saat Matt mengganti jarinya dengan organ vitalnya sendiri. Organ vital Matt yang notabene sedikit lebih besar dari organ vital Mello, kini masuk ke dalam ‘lubang’ Mello tadi. Dan Matt segera membungkam mulut Mello dengan ciuman lembut di bibirnya.

“Mmmm…mm..,” Mello menggumam tak jelas saat bibir Matt melumat bibirnya. Rasa sakit Mello tadi entah hilang kemana. Tergantikan oleh rasa nikmat yang amat besar yang tengah di berikan Matt saat ini.

Sementara mereka masih berciuman, Matt memaju mundurkan pinggulnya mengiringi detak jantung mereka. Gerakannya semakin cepat saat ia merasa telah agak kepayahan.

“Faster, Dummy!” erang Mello disela-sela ciuman mereka. Dan tuntutan Mello itu membuat Matt terdorong ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat dan sempurna.

“Mello…ak…aku...,” Matt semakin mempercepat gerakan maju mundur pinggulnya.

“Mello!”

Satu sebutan nama Mello itu keluar dari mulut Matt bersamaan dengan masuknya cairan putih hangat kedalam tubuh Mello dari organ vital Matt.

Helaan nafas panjang keluar dari hidung dan mulut mereka. Matt pun menarik kembali alat vitalnya dari ‘lubang’ Mello. Ia duduk kepayahan di dekat kaki Mello. Matt menyadarkan kepalanya ke sandaran sofa sedangkan Mello masih berbaring lemas dengan dada narik turun.

“Kau sudah tak bosan?” gumam Matt sambil melirik Mello yang terbaring di sampingnya.

“Yeah,” jawab Mello. “Ku rasa lain kali aku yang akan ada diatas.”

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Di tempat lain dari Matt dan Mello…

Near dan L menatap layar monitor lebar didepan mereka saat ini dengan darah masih mengucur di hidung mereka. Sekalipun satu daun sirih telah berada di sebelah lubang hidung mereka, tapi adegan yang tampil di layar monitor nampaknya telah mampu merangsang darah mereka terus mengucur.

“Huh? Apa mereka tak tahu bahwa apartement mereka kita pasang kamera pengintai?” tanya Near masih sibuk menyumpal hidungnya dengan daun sirih.

L tak menjawab. Ia menoleh ke arah Near dan tersenyum aneh. Near yang melihat senyum L, menelan ludah dengan sulitnya.

“Mau mencobanya dengan saya, Near?” tanya L dengan wajah yang entah sejak kapan, telah berubah mesum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar